LAPANGAN RIHI ETI PRAILIU DITUTUP WARGA,
PEM KAB SUMBA TIMUR TERPAKU
Waingapu: Fasilitas
publik, Lapangan Rihi Eti Prailiu kesehariannya dijadikan tempat untuk berolah
raga dan pacuan kuda bagi warga Waingapu bahkan Sumba Timur, beberapa waktu
lalu telah ditutup paksa oleh sekelompok
warga kampung Raja Prailiu yang mengatas namakan “pemilik atau ahli warisnya”. Terjadi
demikian dipicu adanya usaha inventarisasi tanah milik Pemda sebelumnya oleh
Pem Kab Sumba Timur dengan cara memasang/menanam papan nama kepemilikan atas
lahan seluas lebih kurang 90.000 m2 tersebut.
Sebagai
fasilitas publik yang sudah biasa digunakan warga, tentu ditutupnya lapangan
ini akan mempunyai pengaruh besar, bukan sekedar tempat untuk berolah raga bola
atau sekedar melampiaskan hoby olah raga berkuda tetapi juga memiliki fungsi
budaya atau adat istiadat yang kental dengan ciri khas daerah ini, yakni tradisi
pacuan kuda, yang umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun lamanya. Coba
bayangkan, Waingapu tanpa pacuan kuda tak ubahnya kota tanpa identitas, pun
demikian bagi Sumba Timur.
Disini
tak perlu kita ungkap nilai ekonomis lapangan Rihi Eti bagi warga kota, terutama
saat even besar olah raga dan lomba pacuan kuda berlangsung. Selain sebagai
identitas atau ciri khas kota yang jelas kepentingan warga kota telah terusik akibat sengketa yang tengah
berlangsung. Dalam peristiwa penutupan lahan ini, ditengarai lahan berasal/milik
Raja Prailiu terdahulu di era swa praja, konon telah diberikan secara hibah
kepada Pem Kab Sumba Timur di era Bupati Soai sebagai tempat pacuan kuda dan
lapangan olah raga, ini menimbulkan banyak spekulasi di tengah masyarakat.
Benarkah tanah ini diberikan secara hibah, dipinjam-pakaikan atau disepakati
antara kedua belah-pihak (keluarga Raja Prailiu saat itu dengan Pem Kab Sumba
Timur)?
Belum
ada jawaban yang pasti hingga sekarang tentang kronologi hingga lahan tersebut
menjadi milik Pem Kab Sumba Timur. Sementara itu, pintu gerbang lapangan Rihi
Eti saat ini masih ditutup dan digembok oleh sekelompok warga Prailiu bahkan diterakan
papan nama “Tanah ini milik Kampung Raja Prailiu”.
Mafhumlah jika sekarang terjadi pro dan kontra di tengah
masyarakat. Ada pendapat yang mengatakan, benar dahulu tanah tersebut milik
Raja Prailiu, jadi saat ini harus dikembalikan status kepemilikannya kepada para
ahli warisnya, atau tidak boleh ditanam papan nama kepemilikan yang
mengatasnamakan Pem Kab Sumba Timur, seperti ramai dibicarakan oleh sebuah grup
dalam akun facebook, beberapa
pendapat di sana memihak warga kampung Raja Prailiu bahkan ada salah satu
anggota DPRD Sumba Timur bersuara keras di sana menanggapi dan membela hak-hak
warga kampung Raja Prailiu. Sementara pendapat lainnya mengatakan bahwa tanah
itu milik Pem Kab Sumba Timur yang harus tetap dipertahankan untuk kepentingan
publik Mana yang benar?
Namun,
ada fakta yang sedikit terkuak terutama dari arsip yang tersimpan di Setda
Kabupaten Sumba Timur untuk status lapangan Rihi Eti ini, ternyata telah diterbitkan
sertifikat hak pakai sekitar tahun
1982 atas nama Pem Kab Sumba Timur, kala itu telah dimohonkan status
kepemilikannya oleh pejabat negara yang berwenang (Bupati Soai), membuat surat
permohonan kepada BPN (saat itu disebut dengan kantor agraria). Telisik menyebutkan tanah tersebut dimohonkan
oleh Bupati Soai untuk dan atas nama pemerintah. Diduga di dalam sertifikat tanah
disebutkan lahan tersebut adalah bekas
tanah Negara.
Jika
kita mengacu kepada Permendagri nomor 6/1972,tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Hak atas Tanah; Permendagri 17/2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah. Kedua Permendagri tersebut mengacu kepada
Undang-undang nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Bahwa
status tanah milik Pemerintah Daerah adalah tanah hak pakai bukan hak milik.
Sejauh
ini belumlah nampak fakta yang terungkap dari pihak ahli waris kampung Raja
Prailiu mengenai bukti kepemilikan tanah tersebut akan tetapi saksi-saksi
banyak yang mengetahui bahwa sebenarnya tanah tersebut dahulunya milik Raja
Prailiu di era swa praja dan sebelum UU Agraria nomor 5/1960 diberlakukan, kepemilikan
tanah belum dibukukan sebagai mana saat ini menjadi sebuah buku sertifikat,
hanya mungkin saat itu lahan tersebut belum pernah didaftarkan kepada pihak
pemerintah/kantor agraria. UU nomor 5/1960 pasal IX huruf A menyebutkan, “hak-hak
dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang
masih ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini dihapus dan beralih
kepada Negara. Boleh jadi, inilah yang melatar belakangi sehingga keterangan di
dalam sertifikat tanah menyebutkan bahwa diduga tanah tersebut bekas tanah
Negara”.
Apapun,
sengketa telah terlanjur muncul dan mengusik kepentingan public, warga kampung
Raja dan Pem Kab sendiri, sudah semestinya solusi tepat harus diupayakan oleh
kedua belah pihak yang bersengketa. Langkah persuasif harus segera ditempuh
sehingga tidak menimbulkan kegalauan bahkan perpecahan antara Pem Kab dan warga
Kampung Raja Prailiu.
Diam
terpaku bukanlah jalan yang tepat bagi penyelesaian sengketa, terutama bagi Pem
Kab Sumba Timur, warga kota menginginkan dibukanya kembali lapangan Rihi Eti.
Mungkin,
ada dua opsi yang bisa ditempuh oleh Pem Kab untuk menyelesaikankannya, opsi pertama
melakukan pendekatan persuasif dengan pihak-pihak ahli waris secara adat sesuai
dengan karakteristik Sumba yang masih kental di dalam kehidupan masyarakat
kampung Raja-Lewa Kambera, bagaimanapun juga, ada hal kuat yang melatar
belakangi warga kampung Raja Prailiu ngotot
atas status tanah lapangan Rihi Eti. Jika belum didapatkan jalan keluarnya maka
opsi kedua boleh ditempuh, yaitu mengajukan gugatan secara perdata atas
penyegelan paksa lapangan Rihi Eti oleh warga tetapi tidak secara pidana meskipun hal itu dimungkinkan sebagai kasus dugaan
penyerobotan tanah milik Pem Kab karena papan nama kepemilikan telah dicabut paksa
oleh warga/penutupan fasilitas publik secara paksa atau pun adanya unsur-unsur
pidana lainnya yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik.
Tetapi
opsi kedua jelas bukanlah opsi yang arif, sebab sengketa yang terjadi lebih
mengarah kepada terlukanya harga diri warga kampung Raja atas ditanamnya papan
nama kepemilikan oleh pihak Pem Kab, karena bagaimanapun kearifan lokal sebagaimana cerita sejarah Sumba Timur terdahulu
tetap dapat menyatukan apapun bentuk perpecahan yang dapat kapan saja berubah
menjadi bom waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar