Kamis, 03 Januari 2013

Tajuk Rencana


LAPANGAN RIHI ETI PRAILIU DITUTUP WARGA, 
PEM KAB SUMBA TIMUR TERPAKU
 
Waingapu: Fasilitas publik, Lapangan Rihi Eti Prailiu kesehariannya dijadikan tempat untuk berolah raga dan pacuan kuda bagi warga Waingapu bahkan Sumba Timur, beberapa waktu lalu telah ditutup paksa oleh sekelompok warga kampung Raja Prailiu yang mengatas namakan “pemilik atau ahli warisnya”. Terjadi demikian dipicu adanya usaha inventarisasi tanah milik Pemda sebelumnya oleh Pem Kab Sumba Timur dengan cara memasang/menanam papan nama kepemilikan atas lahan seluas lebih kurang 90.000 m2 tersebut.
Sebagai fasilitas publik yang sudah biasa digunakan warga, tentu ditutupnya lapangan ini akan mempunyai pengaruh besar, bukan sekedar tempat untuk berolah raga bola atau sekedar melampiaskan hoby olah raga berkuda tetapi juga memiliki fungsi budaya atau adat istiadat yang kental dengan ciri khas daerah ini, yakni tradisi pacuan kuda, yang umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun lamanya. Coba bayangkan, Waingapu tanpa pacuan kuda tak ubahnya kota tanpa identitas, pun demikian bagi Sumba Timur.
Disini tak perlu kita ungkap nilai ekonomis lapangan Rihi Eti bagi warga kota, terutama saat even besar olah raga dan lomba pacuan kuda berlangsung. Selain sebagai identitas atau ciri khas kota yang jelas kepentingan warga kota telah terusik akibat sengketa yang tengah berlangsung. Dalam peristiwa penutupan lahan ini, ditengarai lahan berasal/milik Raja Prailiu terdahulu di era swa praja, konon telah diberikan secara hibah kepada Pem Kab Sumba Timur di era Bupati Soai sebagai tempat pacuan kuda dan lapangan olah raga, ini menimbulkan banyak spekulasi di tengah masyarakat. Benarkah tanah ini diberikan secara hibah, dipinjam-pakaikan atau disepakati antara kedua belah-pihak (keluarga Raja Prailiu saat itu dengan Pem Kab Sumba Timur)?
Belum ada jawaban yang pasti hingga sekarang tentang kronologi hingga lahan tersebut menjadi milik Pem Kab Sumba Timur. Sementara itu, pintu gerbang lapangan Rihi Eti saat ini masih ditutup dan digembok oleh sekelompok warga Prailiu bahkan diterakan papan nama “Tanah ini milik Kampung Raja Prailiu”.
Mafhumlah jika sekarang terjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada pendapat yang mengatakan, benar dahulu tanah tersebut milik Raja Prailiu, jadi saat ini harus dikembalikan status kepemilikannya kepada para ahli warisnya, atau tidak boleh ditanam papan nama kepemilikan yang mengatasnamakan Pem Kab Sumba Timur, seperti ramai dibicarakan oleh sebuah grup dalam akun facebook, beberapa pendapat di sana memihak warga kampung Raja Prailiu bahkan ada salah satu anggota DPRD Sumba Timur bersuara keras di sana menanggapi dan membela hak-hak warga kampung Raja Prailiu. Sementara pendapat lainnya mengatakan bahwa tanah itu milik Pem Kab Sumba Timur yang harus tetap dipertahankan untuk kepentingan publik  Mana yang benar?
Namun, ada fakta yang sedikit terkuak terutama dari arsip yang tersimpan di Setda Kabupaten Sumba Timur untuk status lapangan Rihi Eti ini, ternyata telah diterbitkan sertifikat hak pakai sekitar tahun 1982 atas nama Pem Kab Sumba Timur, kala itu telah dimohonkan status kepemilikannya oleh pejabat negara yang berwenang (Bupati Soai), membuat surat permohonan kepada BPN (saat itu disebut dengan kantor agraria). Telisik menyebutkan tanah tersebut dimohonkan oleh Bupati Soai untuk dan atas nama pemerintah. Diduga di dalam sertifikat tanah disebutkan lahan tersebut adalah bekas tanah Negara.

Jika kita mengacu kepada Permendagri nomor 6/1972,tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah; Permendagri 17/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Kedua Permendagri tersebut mengacu kepada Undang-undang nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Bahwa status tanah milik Pemerintah Daerah adalah tanah hak pakai bukan hak milik.
Sejauh ini belumlah nampak fakta yang terungkap dari pihak ahli waris kampung Raja Prailiu mengenai bukti kepemilikan tanah tersebut akan tetapi saksi-saksi banyak yang mengetahui bahwa sebenarnya tanah tersebut dahulunya milik Raja Prailiu di era swa praja dan sebelum UU Agraria nomor 5/1960 diberlakukan, kepemilikan tanah belum dibukukan sebagai mana saat ini menjadi sebuah buku sertifikat, hanya mungkin saat itu lahan tersebut belum pernah didaftarkan kepada pihak pemerintah/kantor agraria. UU nomor 5/1960 pasal IX huruf A menyebutkan, “hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini dihapus dan beralih kepada Negara. Boleh jadi, inilah yang melatar belakangi sehingga keterangan di dalam sertifikat tanah menyebutkan bahwa diduga tanah tersebut bekas tanah Negara”.
Apapun, sengketa telah terlanjur muncul dan mengusik kepentingan public, warga kampung Raja dan Pem Kab sendiri, sudah semestinya solusi tepat harus diupayakan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Langkah persuasif harus segera ditempuh sehingga tidak menimbulkan kegalauan bahkan perpecahan antara Pem Kab dan warga Kampung Raja Prailiu.
Diam terpaku bukanlah jalan yang tepat bagi penyelesaian sengketa, terutama bagi Pem Kab Sumba Timur, warga kota menginginkan dibukanya kembali lapangan Rihi Eti.
Mungkin, ada dua opsi yang bisa ditempuh oleh Pem Kab untuk menyelesaikankannya, opsi pertama melakukan pendekatan persuasif dengan pihak-pihak ahli waris secara adat sesuai dengan karakteristik Sumba yang masih kental di dalam kehidupan masyarakat kampung Raja-Lewa Kambera, bagaimanapun juga, ada hal kuat yang melatar belakangi warga kampung Raja Prailiu ngotot atas status tanah lapangan Rihi Eti. Jika belum didapatkan jalan keluarnya maka opsi kedua boleh ditempuh, yaitu mengajukan gugatan secara perdata atas penyegelan paksa lapangan Rihi Eti oleh warga tetapi tidak secara pidana meskipun hal itu dimungkinkan sebagai kasus dugaan penyerobotan tanah milik Pem Kab karena papan nama kepemilikan telah dicabut paksa oleh warga/penutupan fasilitas publik secara paksa atau pun adanya unsur-unsur pidana lainnya yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik.
Tetapi opsi kedua jelas bukanlah opsi yang arif, sebab sengketa yang terjadi lebih mengarah kepada terlukanya harga diri warga kampung Raja atas ditanamnya papan nama kepemilikan oleh pihak Pem Kab, karena bagaimanapun kearifan lokal sebagaimana cerita sejarah Sumba Timur terdahulu tetap dapat menyatukan apapun bentuk perpecahan yang dapat kapan saja berubah menjadi bom waktu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar